Selasa, 22 Mei 2012

Roti Buaya Sebagai Lambang Kesetiaan


Roti Buaya Kembang Kelapa
Di Betawi buat arak-arakan
Biar kata ilmu gua belom seberapa
Tapi kalo udah bekelai, ucus lu gua keja berantakan..

Pantun di atas sering saya dengar dalam banyak kesempatan menyaksikan pertunjukan Palang Pintu. Dalam pantun di atas menunjukkan kerendahan hati sang penutur pantun. Dia mengakui kalau ilmunya belum seberapa alias masih sedikit. Tapi dia yakin kalo sudah berkelahi, dia mampu membuat usus lawannya berantakan. Ganas dan sadis sekali. Namun, itu semua hanya sandiwara belaka. Karena pantun-pantun dalam acara Palang Pintu memang kebanyakan seperti itu. Pantun jagoan. Yang bertujuan untuk menjatuhkan mental lawannya. Karena dengan berkata seperti itu, dia akan dianggap sebagai pendekar yang hebat. Dalam acara Palang Pintu, pihak Pengantin Lelaki membawa pendekar yang dipersiapkan untuk membuka Palang Pintu yang merupakan pendekar juga yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Pengantin Perempuan. Dan sudah bisa dipastikan kalau hasilnya adalah kemenangan bagi pendekar dari pihak lelaki. Karena kalau pendekar dari pihak perempuan yang menang, maka pernikahannya tidak jadi terlaksana, karena pihak laki-laki harus bisa masuk dan melewati rintangan dari Palang Pintu tersebut.

Sebelum rombongan besan lelaki bergerak menuju lokasi pernikahan, pihak pengantin laki-laki melakukan beberapa persiapan. Mulai dari mengumpulkan rombongan besan. Hingga mengumpulkan bingkisan-bingkisan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, untuk dibawakan dan diserahkan ke pihak perempuan. Di antara bingkisan itu ada sepasang sosok binatang buas yang biasanya ditakuti oleh manusia karena kebuasannya. Binatang tersebut adalah sepasang Buaya seukuran hampir 1 meter dengan seekor anak buaya disampingnya. Namun, kali ini binatang terebut tidak tampak kebuasannya, karena dia diikat dengan pita berwarna dan dibungkus dengan plastik bening dan dihias sedemikian rupa sehingga tampak cantik dan menarik. Kesan buas yang biasanya jadi image pada binatang tersebut seakan-akan sirna dan tergantikan oleh kesan menarik. 

Buaya tersebut bukanlah buaya sungguhan, tetapi roti buaya. Ya, roti yang dibentuk menyerupai buaya. Sepasang roti buaya dengan masing-masing didampingi oleh seekor anaknya. Roti buaya sengaja dianggap penting keberadaannya oleh masyarakat Betawi dalam acara tersebut. Acara seserahan yang dilakukan pihak lelaki kepada pihak perempuan. Bagi masyarakat Betawi, acara seserahan tanpa menyertakan Roti Buaya dianggap kurang afdhol. Sehingga, jika ada suatu acara seserahan dan rombongan besan membawa Roti Buaya, orang-orang pasti tahu kalau rombongan tersebut adalah masyarakat Betawi. Karena Roti Buaya sangat identik dengan pengantin Betawi.

Bagi kebanyakan masyarakat Betawi sendiri, Roti Buaya memiliki makna kesetiaan. Menurut informasi yang saya terima dari orang tua dulu, buaya jantan hanya kawin dengan 1 betina saja. Berbeda dengan burung merpati yang di setiap pernikahan orang-orang bule, sering dijadikan binatang ”pelengkap” dalam perayaan pernikahan. Berbeda lagi dengan buaya darat. Buaya darat merupakan julukan yang disematkan oleh masyarakat kepada lelaki yang memiliki kegemaran gonta-ganti pasangan. Roti buaya sendiri mengambil makna dari buaya asli yang selalu setia dengan pasangannya. Kalau tidak percaya, coba deh ditanyakan langsung ke buayanya. Hehehehe.. Jadi, bedakan ya antara Buaya Darat dengan Roti Buaya.

Saya teringat dengan acara pernikahan saya dulu. Saya yang merupakan putra Betawi dan tinggal di Rawa Buaya – Cengkareng, menikah dengan seorang gadis asal Jepara, Jawa Tengah. Pada saat pesta pernikahan kami, saudara dari istri saya datang dari Jepara ke Jakarta untuk mengikuti resespsi dan akad nikah kami. Ketika akad nikah, saya dan rombongan besan membawa berbagai macam bingkisan seperti halnya orang Betawi pada umumnya yang biasa disebut dengan Seserahan. Tidak ketinggalan pula sepasang roti buaya dengan seekor anak buayanya yang sudah dihias  sedemikian rupa supaya terlihat cantik dan menarik. Setelah pesta pernikahan selesai, roti buaya dibagikan ke tetangga. Tersisa tinggal 1 ekor roti buaya saja yang masih terbungkus rapi. Walhasil, roti buaya tsb dibawa oleh saudara-saudara pulang ke Jepara. Untuk dibagi-bagikan juga ke tetangga. Karena roti buaya sudah identik dengan masyarakat Jakarta. Roti Buaya tersebut dibawa tanpa dipotong-potong dulu, tetapi hanya dibungkus kertas koran saja, supaya tidak terlalu kelihatan kalau itu adalah roti buaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar