Roti Buaya Kembang Kelapa
Di Betawi buat
arak-arakan
Biar
kata ilmu gua belom seberapa
Tapi
kalo udah bekelai, ucus lu gua keja berantakan..
Pantun di atas sering saya dengar dalam banyak kesempatan
menyaksikan pertunjukan Palang Pintu. Dalam pantun di atas menunjukkan
kerendahan hati sang penutur pantun. Dia mengakui kalau ilmunya belum seberapa
alias masih sedikit. Tapi dia yakin kalo sudah berkelahi, dia mampu membuat
usus lawannya berantakan. Ganas dan sadis sekali. Namun, itu semua hanya
sandiwara belaka. Karena pantun-pantun dalam acara Palang Pintu memang
kebanyakan seperti itu. Pantun jagoan. Yang bertujuan untuk menjatuhkan mental
lawannya. Karena dengan berkata seperti itu, dia akan dianggap sebagai pendekar
yang hebat. Dalam acara Palang Pintu, pihak Pengantin Lelaki membawa pendekar
yang dipersiapkan untuk membuka Palang Pintu yang merupakan pendekar juga yang
memang sudah dipersiapkan oleh pihak Pengantin Perempuan. Dan sudah bisa
dipastikan kalau hasilnya adalah kemenangan bagi pendekar dari pihak lelaki.
Karena kalau pendekar dari pihak perempuan yang menang, maka pernikahannya
tidak jadi terlaksana, karena pihak laki-laki harus bisa masuk dan melewati
rintangan dari Palang Pintu tersebut.
Sebelum rombongan besan lelaki bergerak menuju lokasi
pernikahan, pihak pengantin laki-laki melakukan beberapa persiapan. Mulai
dari mengumpulkan rombongan besan. Hingga mengumpulkan bingkisan-bingkisan yang
sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, untuk dibawakan dan diserahkan ke pihak
perempuan. Di antara bingkisan itu ada sepasang sosok binatang buas yang
biasanya ditakuti oleh manusia karena kebuasannya. Binatang tersebut adalah
sepasang Buaya seukuran hampir 1 meter dengan seekor anak buaya disampingnya. Namun,
kali ini binatang terebut tidak tampak kebuasannya, karena dia diikat dengan
pita berwarna dan dibungkus dengan plastik bening dan dihias sedemikian rupa
sehingga tampak cantik dan menarik. Kesan buas yang biasanya jadi image pada
binatang tersebut seakan-akan sirna dan tergantikan oleh kesan menarik.
Buaya tersebut bukanlah buaya sungguhan, tetapi roti
buaya. Ya, roti yang dibentuk menyerupai buaya. Sepasang roti buaya dengan
masing-masing didampingi oleh seekor anaknya. Roti buaya sengaja dianggap
penting keberadaannya oleh masyarakat Betawi dalam acara tersebut. Acara
seserahan yang dilakukan pihak lelaki kepada pihak perempuan. Bagi masyarakat
Betawi, acara seserahan tanpa menyertakan Roti Buaya dianggap kurang afdhol.
Sehingga, jika ada suatu acara seserahan dan rombongan besan membawa Roti
Buaya, orang-orang pasti tahu kalau rombongan tersebut adalah masyarakat
Betawi. Karena Roti Buaya sangat identik dengan pengantin Betawi.
Bagi kebanyakan masyarakat Betawi sendiri, Roti Buaya
memiliki makna kesetiaan. Menurut informasi yang saya terima dari orang tua
dulu, buaya jantan hanya kawin dengan 1 betina saja. Berbeda dengan burung
merpati yang di setiap pernikahan orang-orang bule, sering dijadikan binatang
”pelengkap” dalam perayaan pernikahan. Berbeda lagi dengan buaya darat. Buaya
darat merupakan julukan yang disematkan oleh masyarakat kepada lelaki yang
memiliki kegemaran gonta-ganti pasangan. Roti buaya sendiri mengambil makna
dari buaya asli yang selalu setia dengan pasangannya. Kalau tidak percaya, coba
deh ditanyakan langsung ke buayanya. Hehehehe.. Jadi, bedakan ya antara Buaya
Darat dengan Roti Buaya.
Saya teringat dengan acara pernikahan saya dulu. Saya
yang merupakan putra Betawi dan tinggal di Rawa Buaya – Cengkareng, menikah
dengan seorang gadis asal Jepara, Jawa Tengah. Pada saat pesta pernikahan kami,
saudara dari istri saya datang dari Jepara ke Jakarta untuk mengikuti resespsi
dan akad nikah kami. Ketika akad nikah, saya dan rombongan besan membawa
berbagai macam bingkisan seperti halnya orang Betawi pada umumnya yang biasa
disebut dengan Seserahan. Tidak ketinggalan pula sepasang roti buaya dengan
seekor anak buayanya yang sudah dihias
sedemikian rupa supaya terlihat cantik dan menarik. Setelah pesta
pernikahan selesai, roti buaya dibagikan ke tetangga. Tersisa tinggal 1 ekor
roti buaya saja yang masih terbungkus rapi. Walhasil, roti buaya tsb dibawa
oleh saudara-saudara pulang ke Jepara. Untuk dibagi-bagikan juga ke tetangga.
Karena roti buaya sudah identik dengan masyarakat Jakarta. Roti Buaya tersebut
dibawa tanpa dipotong-potong dulu, tetapi hanya dibungkus kertas koran saja,
supaya tidak terlalu kelihatan kalau itu adalah roti buaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar