Kamis, 30 Juni 2011

berita8.com - Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik

berita8.com - Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik

Sebuah penelitan pada tahun 1989-1990 dan 1991-1992 menunjukkan bahwa penduduk asli kota Jakarta yang biasa dipanggil sebagai orang Betawi dapat dibedakan atas macam-macam kelompok.


Mereka cukup berbeda dalam arti latar belakang sosial-ekonomi serta lokasi distribusi sebagai akibat perjalanan sejarah yang berbeda. Untuk istilah yang sering dikenakan pada kelompok ini, kami menggolongkan mereka sebagai Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik .

Perlu dicatat bahwa pembagian ini sermata-mata untuk kepentingan dan kemudahan analisa,kenyataannya adalah adanya kelompok-kelompok Betawi ini perlu disadari dan ditekankan dalam melaksanakan penelitian. Adapun keberadaan kelompok-kelompok Betawi ini sendiri bukanlah hal yang baru. Masalahnya amat sedikit pengamat yang menyadarinya, dan lebih sedikit lagi dari mereka yang mempedulikannya.

Salah satu penyebabnya adalah bahwa para pengamat ini menganggap bahwa kelompok satu adalah tipikal Betawi sedangkan kelompok lainnya bukan Betawi. Orang Betawi yang hidup di daerah kota dipanggil "Betawi Kota", mereka menyebut dirinya sebagai penduduk asli kota Jakarta. Orang Betawi yang ada di pinggiran kota Jakarta dinamakan 'Betawi Ora'.

Dalam sudut pandang saya, orang "Betawi Ora" adalah yang seharusnya "sebagai penduduk asli kota Jakarta karena mereka yang secara ketat dan konsisten menyandang tradisi Betawi, sementara orang Betawi Kota amat dipengaruhi oleh tradisi di luar keBetawian sehingga cara hidup mereka berbeda dari "Betawi Ora".

Sumber-sumber tertulis yang ada mengenai Betawi tidak mempersoalkan kelompok Betawi mana yang mereka bicarakan. Akibatnya kesimpulan-kesimpulan yang ditarik bersifat generalisasi walaupun sebenarnya yang mereka bahas adalah kelompok Betawi tertentu.

Padahal hasil penelitian kami tersebut membuktikan bahwa mengabaikan kenyataan adanya kelompok-kelompok Betawi, telah membawa pada kesimpulan-kesimpulan yang tidak representatif tentang Betawi sebenarnya, yang pada gilirannya membawa pada stereotipe negatif tentang kelompok ini tidaklah mengherankan kalau kesimpulan-kesimpulan yang ditarik ini kurang dapat diterima oleh orang Betawi sendiri karena kebetulan mereka tidak berasal dari kelompok yang diteliti.

Sampai dengan beberapa waktu yang lalu diantara orang Betawi masih amat terbatas persepsi keBetawiannya. Sebagai tradisi Betawi, yang ini juga termasuk tradisi Betawi karena tradisi ini dipakai oleh orang Betawi sebagai ekspresi ragam kehidupan mereka sehari-harinya, tetapi ini adalah pandangan pengamat yang berbeda dari pandangan orang Betawi sendiri seringkali tidak mau mengakui itu sebagai bagian dari tradisi Betawi.

Orang Betawi Tengah misaInya tidak mengakui tradisi orang Betawi Pinggir dan sebaliknya. Sehubungan dengan hal keBetawian maka dirasakan penting untuk melukiskannya secara singkat macam-macam kelompok Betawi yang ada sehingga gambaran tentang ragam keBetawian haruslah jelas.

Dengan demikian kalau orang berkesimpulan tentang orang Betawi maka harus jelas untuk kelompok mana mereka bicara; sehingga kesimpulan mereka relevan hanya untuk kelompok yang ditulisnya. Uraian berikut mengenai Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik mencoba memberi kesempatan kepada pembaca untuk mengerti kelompok-kelompok ini dalam arti keBetawian.

Peta berikut mencoba memberikan lokasi persebaran kelompok-kelompok Betawi di Jakarta dan sekitarnya. Kalaupun di sini kami membuat penggolongan-penggolongan pada orang Betawi bukanlah berarti Betawi dipecah-pecah ataupun di beda-bedakan maupun mengingkari adanya Betawi sebagai satu kesatuan. Penggolongan ini sekedar dimaksudkan untuk memperjelas masalah bila berbicara tentang Betawi sehingga tidak terbawa pada kesimpulan yang tidak representatif.

Adapun penggolongan atas sekelompok orang merupakan hal yang biasa. MisaInya, orang Batak dapat dibedakan atas orang Batak Karo, Batak Toba, Batak Mandailing dan sebagainya begitu juga dengan orang Minangkabau yang juga dapat dibedakan atas orang pesisir, orang darat dan sebagainya, orang Jawa seringkali dibedakan oleh para pengamat dalam dunia ilmiah maupun orang awam atas orang Jawa santri, Jawa priyayi dan Jawa abangan.

Hal yang sama terjadi pada suku bangsa lainnya di dunia. Pengelompokkan ini disebabkan karena mereka mempunyai gaya hidup ataupun kebudayaan yang berbeda-beda sehingga pengelompokkan ini akan sangat membantu dalam mengerti suku-bangsa yang bersangkutan.

Betawi Pinggir dan Betawi Udik

Sementara orang Betawi Tengah adalah lebih superior dalam arti latar belakang sosial ekonomi clibandingkan dengan kelompok Betawi lainnya, orang Betawi Pinggir lebih superior dalam arti pendidikan agama. Sejak dulu, orang Betawi Tengah cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah umum sebagai pendidikan formal mereka, maka orang Betawi Pinggir menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren sebagai pendidikan formal mereka, Itu sebabnya orang Betawi menolak bila mereka dianggap tertinggal dalam arti pendidikan bila dibandingkan dengan kelompok lainnya di Indonesia, yang benar adalah mereka mempunyai bentuk pendidikan yang berbeda dengan suku lainnya.

Walaupun orang Betawi Tengah menempuh pendidikan formal di Sekolah Umum, pendidikan agama menurut mereka merupakan bagian yang sangat penting didalam kehidupan mereka. Proses bermasyarakat orang Betawi Tengah ini tidak dapat dipisahkan dari pola kehidupan beragama. Proses sosialisasi ini telah membentuk kehidupan beragama sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Jadi meskipun orang Betawi Pinggir memberi perhatian besar pada pendidikan agama bila dibandingkan dengan Betawi Tengah, pendidikan agama tetap merupakan amatlah penting dalam kehidupan orang Betawi Tengah.

Perbedaan persepsi antara orang non-Betawi dengan persepsi orang Betawi mengenai Betawi disebabkan karena pengetahuan orang non-Betawi adalah gambaran mengenai orang Betawl yang hidup dipinggiran kota Jakarta dan umumnya berasal dari lapisan sosial ekonomi bawah. Amat sedikit tulisan tentang orang Betawi yang ada ditengah-tengah kota Jakarta.

Kalaupun ada maka tulisan ini umumnya tentang orang Betawi dari kelas bawah (Betawi Tengah - orang kampong.red) dan sejauh pengetahuan kami tidak ada tulisan tentang kelas menengah atas ataupun kelas atas Betawi (Betawi Tengah - orang gedong.red).

Tampaknya hal ini disebabkan karena mereka yang tertarik pada keBetawian ataupun menulis tentang orang Betawi tidak menyadari bahwa orang Betawi Tengah, khususnya orang gedong, adalah Ora Betawi (Betawi ora.red), ataupun orang Betawi Tengah tidak menarik untuk ditulis karena gaya hidup mereka oleh orang luar dianggap tidak Betawi; ataupun mereka sendiri yang menyembunyikan keBetawian mereka, saya sendiri berpendapat bahwa mungkin saja mereka kurang menarik untuk ditulis oleh para pengamat Betawi tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka tidak mewakili kelompok Betawi.

Kenyataan ini menyebabkan seringkali para penyaji masalah - masalah keBetawian kurang memperhatikan kenyataan akan adanya kelompok-kelompok Betawi yang masing-masing dalam beberapa hal cukup berbeda satu dengan lainnya.

Data kwantitatif berikut memberikan gambaran dalam bentuk angka mengenai perbedaan orang Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik dalam arti latar belakang pekerjaan dan pendidikan mereka.

Tabel ini menunjukkan kontras pendidikan antara Betawi Tengah dengan Betawi Pinggir, terutama pada tingkat universitas. MisaInya 65% responden Betawi Tengah berpendidikan Universitas, dibandingkan dengan betawi pinggir Betawi Tengah lebih pada pendidikan umum sedangkan Betawi Pinggir lebih berorientasi pada pendidikan agama.

Kontras dengan Betawi tengah dengan Betawi Pinggir, desa Buaran ; Tangerang, menunjukkan bahwa 35% dari respondennya tidak pernah sekolah, tidak sekolah umum maupun sekolah agama. 45% tidak pernah menamatkan pendidikan SDnya dan 5% tamat sekolah Lanjutan Pertama.

Penelitian Kurim terhadap orang Betawi Udik menunjukkan bahwa umumnya para responden bekerja sebagai petani, pedagang keliling dan buruh.

Memang tahun dari ketiga penelitian tersebut di atas cukup berbeda di mana justru yang terbaru adalah penelitian antara orang Betawi Tengah tetapi tidak perlu terIalu bersandar pada distribusi persentase. Tabel ini cukup dilihat sebagai gambaran saya banyak Betawi Tengah umumnya pegawai atau wiraswasta menengah atas.

Hampir tidak ada yang menjadi pekerja tradisional. Ini kontras dengan orang Betawi Pinggir dan Betawi Udik. Walaupun kini terjadi pergeseran dan peningkatan dalam bidang pekerjaan pada Betawi Pinggir dan Betawi Udik, kami percaya bahwa perubahan ini tidak merubah banyak kesimpulan yang kami sajikan di atas.

Uraian lengkap pada Yasmine Shahab (1993) dan Yasmine Shahab (1995). Untuk kepentingan analisa orang. Peta ini kami susun atas bantuan dari Irwan Syafi’i yang aktif dalam BAMUS BETAWI Dan Lembaga Kebudayaan Betawi.

Tingkat kawin antar suku-bangsa di Betawi Tengah cukup tinggi seperti tampak dari hasil penelitian kami pada tahun 1989 dimana tingkat perkawinanantar suku-bangsa diantara generasi orangtua responden sebesar 30.8%, menjadi 73% pada generasi responden. Tingkat yang tinggi ini bukan hanya pada orang Betawi Tengah, tapi juga untuk orang Betawi lainnya.

Penelitian di Condet, daerah dominan Betawi di pinggiran Jakarta, menunjukkan 52% penduduknya kawin dengan orang satu desa dan 46% kawin dengan orang Betawi dari desa lain (Shahab, 1982. 37). Penelitian oeh Wornaen diantara 591 pelajar di Jakarta menunjukkan 24% dari mereka berasal dari orangluarantar etnik. Penelitian yang dilakukan di delapan propinsi di Indonesia menunjukkan kawin antar sukubangsa masing-masing berkisar antara 2-3% (Warnaen, 1978,,140).

Pengalaman kami mengadakan penelitian diantara elite Betawi menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi, khususnya yang mengirim anaknya belajar ke luar negeri didominir oleh Betawi Tengah. Walaupun demikian perkembangan yang ada dalam dekade terakhir membawa pada argumentasi dalam waktu yang cukup singkat dimasa mendatang kelompok elite Betawi dalam arti pendidikan umum ini akan diwarnai oleh ketiga kelompok Betawi, Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik.

Perbandingan yang luas dan mendalam mengenai ketiga kelompok Betawi ini dapat dibaca dalam tulisan Shahab.Y (1993).

Dok Situs Bamus Betawi (Babe Online) Tahun 2004.

Kamis, 23 Juni 2011

MEMBONGKAR KEBOHONGAN SEJARAH : 22 JUNI BUKAN TANGGAL LAHIR KOTA JAKARTA

22 Juni Hari Ulang Tahun siapa ? Kota Jakarta sudah memasuki 483 tahun berdasarkan perhitungan lahirnya, yakni 22 Juni 1527 meyakini tanggal kelahirannya ini. Seperti halnya kebanyakan orang Betawi yang gak mau tahu tanggal & hari lahir, setuju saja tanggal 22 Juni sebagai HUT Jakarta. Kota Jakarta, mungkin karena benda mati, gak tahu dan setuju saja ketika ditetapkan 22 Juni 1527 sebagai kelahirannya tanpa menguji lebih jauh. Sebagai generasi kritis, sudah waktunya kita bertanya, 22 Juni yang ulang tahun siapa ? Kenapa ? Budayawan Betawi yang ditetapkan Universiti Kebangsaan Malaysia sebagai Sejarahwan & Budayawan Betawi, Drs.H.Ridwan Saidi, ternyata sejak tahun 1988 sudah mengajak banyak pihak menguji penetapan tanggal 22 Juni sebagai kelahiran kota Jakarta.


Kita tengok kebelakang selintas, akan kita dapati prosesi sejarah Bandar Kalapa yang sejak abad XV sudah menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Pada tahun 1520, Kerajaan Sunda Pajajaran mengutus Wak Item orang dari Kerajaan Tanjung Jaya yang juga merupakan bagian dari kerajaan Sunda Pajajaran. Disebut Wak Item,karena berpakaian serba item (hitam) seperti suku Baduy. Wak Item disebut juga Batara Katong,karena memakai mahkota dari emas. Kemudian Cirebon fitnah Wak Item sebagai penyembah berhala.



Jelas sekali,alasan Islamisasi yang diusung Fatahillah menyerbu SUnda Kalapa tidak terbukti. Sejak menguasai Sunda Kalapa yang kemudian diganti namanya menjadi Jayakarta, Fatahillah dan penerusnya tidak membangun tempat ibadah, baik langgar, mushalla atau mesjid yang paling kecil sekalipun. Keinginan menguasai Bandar Kalapa (ekonomi) menjadi fakta yang sulit ditolak.



Dalam kajian sejarah, Wak Item merupakan proto manusia Betawi (sebelum dipastikan sebagai suku Betawi). Wak Item ditugaskan sebagai Xabandar (syahbandar) Bandar Kalapa atau dikenal Pelabuhan Sunda Kelapa. Ada pula menyebut,Fatahillah menyerbu Kalapa dengan maksud meng-Islam-kan penduduknya. Orang-orang Betawi sendiri telah menjadi Islam oleh Syekh Hasanuddin Patani pada Abad XV, mulai dari pesisir Timur Pulo Kalapa sampai Tanjung Kait di barat. Asalnya memang orang Betawi monoteistik (sejak Abad V) seperti dalam temuan Batujaya,Lalampahan, Bujangga Manik, Syair Buyut Nyai Dawit. Monoteisme leluhur Betawi dihajar Tarumanegara pada abad IV (Wangsakerta), tapi Pajajaran tidak ganggu, baik ketika masih monoteistik maupun setelah menjadi Islam. Bahkan Prabu Siliwangi memproteksi Pesantren Syekh Hasanuddin Patani (Babad Tanah Jawa, Carios Parahiyangan). Jadi tidak benar pada tahun 1527, Fatahillah menyerbu Wak Item & orang Betawi karena alasan mereka penyembah berhala. Leluhur Betawi menghormati Cirebon karena Syarif Hidayatullah adalah menantu Prabu Siliwangi, kemudian dia kawin lagi dengan putri Pucuk Umun,penguasa lokal Banten Girang. Itu sebabnya Siliwangi & Surawisesa tidak curiga pada Cirebon.



Menurut F.De Haan (1932) dalam buku “Oud Batavia” tugas-tugas Xabandar adalah: mencatat keluar masuk kapal, memenej bisnis dan mencatat jumlah penduduk. Dalam Prasasti Padrao dijelaskan adanya perjanjian antara Kerajaan Sunda Pajajaran dengan Portugis, antara lain berisikan : Portugis diberi hak membangun loji atau benteng disekitar Bandar Kalapa. Pada 1522, Wak Item teken perjanjian dengan Portugis yang merupakan perjanjian imbal beli : lada ditukar meriam. Wak Item meneken perjanjian PADRAO (baca padrong), dengan membubuhkan huruf WAU dengan khot indah.



Pelabuhan Sunda Kelapa adalah pintu masuk perdagangan yang ramai pada jaman itu, sehingga merangsang pihak manapun untuk menguasainya. Fatahillah kemudian menjadi utusan Sunan Gunung Jati untuk merebut Bandar Kalapa. Kemenangan Fatahillah 22 Juni 1527 dijadikan sandaran menetapkan perubahan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dan kemudian berubah menjadi Jakarta. Kemenangan ini disebut “Fathan Mubina” kemenangan besar dan nyata, dan Fatahillah disanjung sebagai pahlawan, kemudian tanggal kemenangannya ditetapkan sebagai hari ulang tahun kota Jakarta. Bisa dipastikan Fatahillah adalah pahlawan bagi orang Cirebon, tapi tidak sebagai pahlawan bagi orang Betawi.



Benarkah tanggal 22 Juni sebagai ketetapan tanggal kelahiran yang teruji sejarah dan jadi acuan Pemerintah Kota Jakarta ? Penggagas penetapan hari kelahiran Jakarta adalah Sudiro,Walikota Djakarta Raja (1958-1960). Pada saat berkuasa itu, Sudiro meminta kepada Mr.M.Yamin, Sudarjo Tjokrosiswono (wartawan) dan Mr.DR.Sukanto (sejarahwan) untuk mengkaji sejarah kelahiran kota Jakarta yang akan ditetapkan sebagai HUT Jakarta dikemudian hari.



Sukanto dalam penelitiaannya menggunakan perhitungan berdasarkan almanak Jawa dan Islam, karena dianggap Fatahillah adalah Muslim yang menghormati adat Jawa. Almanak Jawa digunakan berdasarkan penghitungan masa panen. Untuk itu Sukanto “memperkirakan” nama Djakarta diberikan beberapa bulan setelah Maret 1527, berkaitan dengan mangsa panen. Sementara Prof.Dr.Husein Djajadiningrat meragukan tanggal satu mangsa kesatu pada 1527 jatuh pada 22 Juni Masehi.

Dr.J.A.Brandes, ahli kebudayaan Jawa, menetapkan masa panen adalah mangsa kesepuluh (Kasadasa) yang jatuh pada 12 April sampai 11 Mei. Djajadiningrat menyatakan bahwa berdasarkan penanggalan Islam selalu dikaitkan dengan hari besar Islam atau bulan-bulan Hijryiah. Patut diperhatikan bahwa bulan Rabiulawwal 933 H berlangsung sampai tanggal 4 Januari 1527. Sehingga ada kemungkinan penggantian nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta oleh Fatahillah terjadi antara tanggal 17 Desember sampai 4 Januari 1527. Menurut Ridwan Saidi sangat salah jika Sunda Kalapa diganti nama Jayakarta oleh Fatahillah, karena Jayakarta adalah nama lain sejak ditetapkan nama Sunda Kalapa. Ditemukannya Dusun Jayakarta di Desa Jayakarta Kecamatan Jajakarta di Kabupaten Krawang membuktikan bahwa nama tersebut sudah ada sebelum Fatahillah menyerbu 1527.Nama Jayakarta diberikan sebagai nama tempat untuk Nyi Mas Rara Santang (putrid Prabu Siliwangi dari istrinya yang muslimah)



Polemik 22 Juni untuk ditetapkan sebagai hari kelahiran kota Jakarta berlangsung cukup lama. Kemudian A.Heuken SJ menekankan keraguannya terhadap penetapan 22 Juni sebagai tanggal lahir Jayakarta. Didalam kompilasi sumber-sumber sejarah Jakarta abad V (yang tertua) sampai tahun 1630 yang disusun oleh A.Heuken SJ, ditunjukkan bahwa penggantian nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang dilakukan Fatahillah yang dijadikan oleh Soekanto untuk menetapkan ulang tahun kota Jakarta “TIDAK TERBUKTI OLEH DATA SEJARAH MANAPUN”. Dengan begitu masihkah ada data bahwa sejarah memberikan informasi kebenaran tanggal 22 Juni sebagai kelahiran kota Jakarta ? (Monalohanda, Arsip Nasional RI)

Soekanto adalah seorang ahli hukum adat, yang masih diragukan metode risetnya. Tapi secara substansial Soekanto sama dengan Djajadiningrat, hanya berbeda pada penghitungan tanggal saja. Soediro sendiri sebagai politisi PNI bermaksud menetralkan suasana panas di Konstituante yang sedang debat masalah Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Tanggal 22 Juni diambil sebagai upaya melunakkan MASYUMI saat itu, karena memang PNI yang legowo dan untuk melunakkan MASYUMI di Konstituante 1958. Saat itu HAMKA langsung merespon dan mengatakan Jayakarta dari kata Fathan Mubina yang katanya merupakan khutbah Jayakarta pas menang (tanpa sumber,RS). Bisa dipastikan penetapan tanggal 22 Juni sebagai tanggal lahir Kota Jakarta merupakan kompromi politik PNI dengan MASYUMI.



Akhirnya diakui oleh Soediro bahwa penetapan tanggal 22 Juni sebagai tanda kelahiran kota Jakarta semata-mata adalah keputusan politik, tanpa mau mengujinya dari sisi pandang manapun berdasarkan fakta ilmiah. Pada Sidang Dewan Perwakilan Kota Djakarta Sementara 1956 diputuskan tanggal 22 Juni sebagai tanggal ulang tahun kota Jakarta hingga sekarang. Sangat disayangkan,tidak ada yang mau peduli benar salahnya tanggal 22 Juni sebagai ketetapan Ulang Tahun Kota Jakarta !!! Sungguh ironis,kota yang jadi pusat kekuasaan,ibukota Negara, warga kotanya mau menerima begitu saja keputusan politik 1956 tanpa kemauan mengkaji ulang kebenarannya.



Sekarang ini terbuka informasi,telah banyak dikaji secara mendalam telah terjadi kebohongan sejarah dalam alasan menjadikan 22 Juni 1527 sebagai tanggal lahir kota Jakarta. Jika masih diteruskan 22 Juni 1527 sebagai tanggal lahir kota Jakarta, berarti terjadi PENGHINAAN & PENGKHIANATAN terhadap Betawi & leluhur Betawi.



Prof.Dr.Soekanto menulis buku "Dari Djakarta ke Djajakarta" (1955). Dia bilang Djakarta lahir 22 Juni 1527,saat Fatahillah berhasil kalahkan "MUSUH BESARNYA (UMMAT ISLAM BETAWI)". Kemudian tahun 1955 ketika diadakan Mubes RT/RK se-Jakarta yang usulkan 22 Juni sebagai HUT Jakarta disetujui oleh Soediro,Walikota Djakarta Raja, walaupun ada anggota DPRSD Djakarta Raja yang minta agar penetapan ditunda hingga tahun 1977.Soediro dalam sambutannya 22 Juni 1956 juga mengkaitkan HUT Jakarta dengan Piagam Jakarta. Panitia penetapan HUT Jakarta dipimpin oleh M.Masserie (pendiri Kaoem Betawi 1923) dibantu 5 orang anggota yang 2 diantaranya orang Betawi : Juduf Bandjar dan M.Saat. Keterangan sejarah terdekat bisa pastikan bahwa data & fakta sejarah kuat tidak mendukung penetapan 22 Juni 1527 sebagai tanggal lahir kota Jakarta. Karenanya harus ditolak.



Patut kita kutip cerita Drs.H.Ridwan Saidi ketika sempat bertemu Pak Prijanto, Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Ridwan bertanya, 22 Juni bapak merayakan apa ? Pak Prijanto menjawab Fatahillah rebut Jakarta (sejatinya cuma sekitar Labuhan Kalapa.RS) Kemudian kata Ridwan, kalau Fatahillah pemenang dan dirayakan berarti dia pahlawan. Penjahatnya siapa ? Sayang Ridwan Saidi tidak menceritakan jawaban Pak Prijanto.



Menurut Ridwan Saidi, Labuhan Kalapa dikuasai Kerajaan Sunda Pajajaran dan Orang Betawi sebagai pelaksana yang mengurus Labuhan Kalapa. Pada saat Fatahillah menyerbu Labuhan Kalapa, ada 3.000 rumah orang Betawi yang dibumi hanguskan (menurut de Quoto, 1531) pasukan Fatahillah yang jumlahnya ratusan. Penduduk Betawi ini kemudian berlarian ke bukit-bukit hidup bagai Tarzan. Menurut Ridwan Saidi, Wak Item sebagai Xabandar Labuhan Kalapa hanya punya pasukan pengikut sebanyak 20 orang. Dengan gigih melawan pasukan Fatahillah, walau akhirnya semua tewas, mati syahid melawan penjajah dari Jawa. Xabandar Wak Item tewas dan ditenggelamkan ke laut oleh pasukan Fatahillan, sementara 20 orang pengikutnya semua juga tewas (Babad Cirebon).

Menurut Ridwan Saidi, tidak pernah ada pertempuran antara Fatahillah dengan Portugis, karena armada Fransisco de Xa tenggelam diperairan Ceylon. Jadi yang menghadapi Pasukan Fatahillah (lebioh 1500 orang) adalah Xabandar Wak Item dengan pengawal-pengawalnya yang berjumlah 20 orang.



Ketika Fatahillah menguasai Bandar Kalapa, maka orang-orang Betawi yang ada, tidak boleh mencari nafkah sekitar Bandar Labuhan (Hikayat Tumenggung Al Wazir). Kalau kemudian hari orang Betawi membantu VOC menghancurkan kerajaan Jayakarta, adalah wajar karena dendam orang terusir. Dalam waktu 6 jam pada tahun 1619, kerajaan Jayakarta takluk pada VOC karena orang Betawi rumahnya dibakar Fatahillah dan diusir dari pemukimannya juga membantu.

Kembali pada kajian penetapan tanggal 22 Juni sebagai kelahiran kota Jakarta, dimana ditetapkan perubahan nama Sunda Kelapa manjadi Jayakarta (nama Jayakarta adalah nama tempat di Tanjung Jaya,Krawang yang diberikan Prabu Siliwangi. Nama ini untuk menghormati putrinya dari Subang Larang yang bernama Nyi Mas Rara Santang. Jadi nama Jayakarta sudah dinisbatkan pada Sunda Kalapa bukan oleh Fatahillah) dan kemudian menjadi Jakarta, ternyata masih misteri dan kita tak usah meyakin-yakinkan diri kebenaran yang disodorkan karena kebijakan politik Soediro. Sebagai keputusan politik, tentu saja kita masih bisa merubahnya demi kepentingan sejarah dan panutan generasi berikut. Kita jangan ikuti terus apa-apa yang salah, tapi siap untuk memperbaiki dan merubahnya. Atau kita tanyakan saja pada Monas yang tegak ditengah kota Jakarta, sebenarnya tanggal 22 Juni siapa yang ulang tahun ????



Sebagai generasi penerus Betawi kita ditantang untuk cari tahu. Membenarkan pendapat diatas karena putusan politik, atau dengan fakta baru sejarah Jakarta, harus segera kita tetapkan pilihan yang benar. Bagi kaum Betawi, 22 Juni 1527 bukanlah kemenangan, tapi peristiwa menyakitkan, karena Wak Item dan pasukannya dibunuh pasukan Fatahillah dengan alasan mengada-ada. Juga kaum Betawi yang 3.000 rumahnya dibumi hanguskan menjadi bukti. Alasan Fatahillah menyerbu Bandar Kalapa dengan alasan agama juga sudah tertolak dengan fakta bahwa Wak Item adalah seorang muslim yang tidak setuju dengan otoritas keilmuan Islam Cirebon. Orientasi keagamaan Islam orang Betawi pada Syech Quro di Krawang, dimana Syech Qurro dalam wasiatnya meminta agar Qur'an-nya dikuburkan bersama jasadnya bila dia wafat.

Syech Qurro menikahi putri Batujaya dan Prabu Siliwangi yang Bhrahmanis (Hindu) melindungi Syech Qurro dan madrasahnya yang mana suatu saat Prabu Siliwangi menikahi santri Syech Qurro bernama Subang Larang. Menurut Laporan Hotman (1596) tentang Jayakarta, dikatakan ada 3.000 rumah dikosongkan,kota ditinggal karena penduduk mengungsi pada saat penyerbuan Fatahillah.



Jadi dapat disimpulkan:

Kaum Betawi dibawah Wak Item sudah lebih maju dengan melakukan Pakta Perdagangan dengan Portugis, dimana Portugis hanya diberi akses sedikit saja saat itu.
Fatahillah dan pasukan koalisi (Demak,Cirebon & Banten) menyerbu Bandar Kalapa bukan dengan alasan agama, tapi ingin menguasai pintu perdagangan.
Terjadi pembumihangusan kaum Betawi (yang sudah Islam) pada saat itu dan itu berarti Fatahillah bukanlah pahlawan bagi Betawi, mungkin bagi Cirebon.
Penetapan 22 Juni 1527 sebagai tanggal lahir Kota Jakarta adalah kekeliruan, karena tidak ada sandaran maupun data atau fakta sejarah dari manapun.

Ataukah kita tidak peduli dan terima saja karena kita memang tidak peduli dengan jati diri Betawi dan Kota Jakarta.Sudah selayaknya Kaum Betawi mau menguji ulang catatan tentang sejarah Kaum Betawi,baik mulai dari Situs Batujaya (abad IIM) maupun pada saat penguasaan Bandar Kalapa oleh Wak Item tahun 1522 dan penyerbuan Fatahillah yang dipuncaki 22 Juni 1527. Kalau ditanya kapan Kota Jakarta ditetapkan tanggal lahirnya, para ahli dan Pemerintah-lah yang wajib menjawabnya. Tapi kita dapat memberikan usulan untuk dipertimbangkan.



Pada tanggal 29 September 1945, Presiden Soekarno menandatangani Surat Keputusan tentang Pembentukan Pemerintahan Nasional Daerah Jakarta dan menetapkan Suwiryo sebagai Walikota-nya. Pembentukan pemerintahan Jakarta sama artinya dibentuknya Kota Jakarta. Jadi, jika dibandingkan SK Gubernur Sudiro tahun 1956 dalam menetapkan 22 Juni sebagai tanggal lahir Jakarta, tentunya menentang SK Presiden Sukarno tahun 1945.

Ada beberapa pilihan mengganti tanggal 22 Juni sebagai tanggal lahir Kota Jakarta, diantaranya :

Tanggal 30 Mei 1619, dimana Kraton Jayakarta dihancurkan luluh lantak.
29 September 1945 berdasar SK Presiden Sukarno.
31 Maret 1950, dimana Kota Jakarta merdeka penuh dan berkedaulatan murni.

Jika kita jujur dan mau mengakui bahwa 22 Juni sebagai tanggal lahir Kota Jakarta adalah keputusan Politik yang bisa diubah dengan keputusan politik juga, maka perlu keputusan politik baru menetapkan tanggal lahir kota Jakarta. Seluruh komponen Etnis Betawi sudah saatnya “ngah” dengan pembodohan dan pembohongan sejarah kota Jakarta dan kaitannya dengan Betawi dan leluhur Betawi. Karena 22 Juni 1527 adalah tanggal penghancuran kota Sunda Kalapa dan pemusnahan pemukiman kaum Betawi. Koq terus kita biarkan kebohongan sejarah yang menyakitkan ini ? (Mathar Moehammad Kamal,28 Februari 2012)







Mathar Moehammad Kamal, Pegiat Budaya Betawi/

Ketua Forum Kajian Budaya Betawi/

Tim Kampanye Bongkar Kebohongan Sejarah Jakarta & Betawi.

Telp.021-92788709. E-mail : matharmoehammad@yahoo.com

Grup FB : GERAKAN PELURUSAN SEJARAH BETAWI