Jumat, 27 April 2012

MUDIK LEBARAN 2011 (Part 1) : Nikmatnya Rajungan


Bagi masyarakat Jakarta, setiap perayaan Hari Raya Idul Fitri atau biasa disebut dengan Lebaran sangat identik dengan yang namanya Mudik atau pulang kampung. Kegiatan mudik ini dilakukan oleh orang-orang pendatang yang tinggal dan bekerja di Jakarta. Mereka berbondong-bondong pergi meninggalkan kota Jakarta untuk menuju kampung halaman masing-masing. Ada yang pulang kampung ke daerah yang masih di Pulau Jawa, ada yang ke luar Pulau Jawa, bahkan ada yang sampai ke luar negeri. Ada yang menumpang Pesawat Terbang, Kapal Laut, Kereta Api, Bus, Sepeda Motor, bahkan ada yang mengendarai Bajaj. Bermacam-macam arah tujuannya dan angkutan yang digunakan. Namun dengan 1 tujuan yang sama, yaitu merayakan Hari Raya Lebaran di kampung halaman bersama keluarga dan sanak family. Bagi mereka kurang afdhol rasanya berlebaran tidak bersama keluarga dan orang tua.



Tidak terkecuali dengan para tetangga di sekitar rumah saya. Beberapa hari menjelang Lebaran, mereka sudah meninggalkan rumah mereka di Jakarta satu-persatu. Yang ada di Jakarta ketika Lebaran tiba adalah suasana menjadi lengang dan sepi. Jakarta yang setiap harinya selalu sibuk, macet di setiap jalan-jalannya. Ketika Lebaran tiba, berubah seolah-olah menjadi kota mati. Bahkan saya yang biasanya menempuh perjalanan berangkat dan pulang kerja paling cepat membutuhkan waktu 1 jam, pada saat-saat menjelang dan setelah Lebaran beberapa hari, hanya membutuhkan waktu paling lama setengah jam saja. Luar biasa. Jalan-jalan raya lengang dan sepi. Seolah-olah hanya saya saja yang masih ada di Jakarta. Maklumlah, saya kan kelahiran Jakarta dan asli anak Jakarta atau anak Betawi asli. Lahir dan besar di Jakarta. Dengan Bapak dan Ibu yang juga lahir di Jakarta. Bahkan semua kakek dan nenek saya juga lahir di Jakarta. Sehingga saya pun bisa dibilang putra Betawi asli.

Saya mencoba mengenang beberapa peristiwa dulu ketika saya masih kecil. Saat itu ketika masih tinggal di bilangan Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Karena kami sekeluarga asli dari Kedoya. Dekat dengan Pondok Pesantren Asshidiqiyah. Dulu, ketika lebaran menjelang, banyak tetangga-tetangga yang berangkat untuk mudik lebaran. Tak terkecuali dengan para teman-teman masa kecil dulu. Mereka ikut orang tua mereka berangkat menuju kampung halaman mereka. Ada yang orang Jawa, orang Sunda, bahkan ada yang orang Ambon. Dalam benak saya ketika itu, mereka sungguh beruntung punya kampung halaman. Setidaknya setiap tahun, yaitu setiap Lebaran tiba mereka bisa jalan-jalan ke kampung halaman. Melihat pemandangan selama perjalanan, tinggal di desa dengan suasana yang masih asri. Udaranya sejuk. Bisa melihat gunung-gunung dan lautan. Oh.. betapa indahnya. Kala itu saya belum punya pemikiran bagaimana capek dan lelahnya orang-orang yang Mudik. Bahkan sampai mempertaruhkan nyawa demi mencium tangan atau memeluk orang tua mereka di Hari Raya seraya memohon maaf  kepada orang tua yang mereka anggap keramat. Mereka berkeyakinan, kesuksesan yang mereka miliki saat ini tidak lepas dari do’a orang tua mereka nun jauh disana. Saat itu saya hanya membayangkan kalau mudik itu adalah jalan-jalan, rekreasi atau semacamnya yang menyenangkan.

Sehingga akhirnya saya diberi kesempatan untuk merasakan sendiri rasanya mudik yang sesungguhnya. Ketika kakak saya (perempuan) menikah dengan seorang lelaki asal Garut, Jawa Barat. Hampir setiap tahunnya saya diajak ”pulang kampung” olehnya. Pertama kali ke Garut dengan menumpang bis. Sehingga nuansa rekreasi yang saya dapatkan kurang memuaskan. Karena selain tidak bisa menikmati pemandangan di lokasi-lokasi wisata selama perjalanan, juga di sana (Garut) saya tidak bisa leluasa jalan-jalan menyusuri kota Garut yang sejuk. Namun, pada kunjungan berikutnya, saya diajak berkendara sepeda motor berdua. Dengan bersepeda motor ini, saya mendapatkan nuansa cukup memuaskan --juga melelahkan--. Misalnya kita beristirahat di Puncak Pass. Memandangi perkebunan teh dan gunung-gunung sambil menghirup udara pegunungan yang segar. Dan ketika di Garut, saya diajak berkeliling dengan sepeda motor menyusuri kota Garut yang indah dan sejuk. Banyak gunung di sana. Sawah-sawah. Enak sekali dipandangnya. Ahh... nikmatnya. Walaupun dalam perjalanan sempat mengalami macet, setidaknya efek kemacetan yang saya rasakan jadi berkurang. Hampir setiap tahun kami berangkat dengan hanya berkendara sepeda motor saja.

Terakhir kali ikutan mudik ketika Lebaran tahun 2011 yang lalu. Ketika itu, kami mudik ke Jepara, Jawa Tengah. Lebih jauh dari Garut. Kali ini tidak dengan kakak ipar dan tidak mengendarai sepeda motor. Tapi dengan istri dan mertua sekeluarga. Dengan mengendarai mobil Isuzu Panther dan menyewa supir. Istri saya kelahiran Jepara, Jawa Tengah. Hanya saja besarnya di Jakarta. Jepara yang lebih dikenal sebagai kota ukir. Kota kelahiran pahlawan nasional R.A. Kartini. Pahlawan bagi kaum perempuan Indonesia. Yang katanya memperjuangkan emansipasi perempuan. Yang makna emansipasi itu sendiri sudah banyak dipelintirkan oleh sekelompok orang demi kepentingan mereka sendiri. Pahlawan yang terkenal dengan kalimat ”Habis Gelap Terbitlah Terang”. Yang setiap tahunnya dirayakan senasional sebagai Hari Kartini setiap tanggal 21 April.

Kami berangkat Sabtu malam tanggal 27 Agustus 2011, sekitar jam 10 an dari Jakarta. Dan baru tiba di Jepara hari Senin dini hari jam 3 an pas makan sahur. Jadi, menempuh perjalanan selama sekitar 29 jam-an. Dari waktu normal Jakarta – Jepara yang hanya 12 jam saja dengan menumpang bis malam. Ya iyalah, membandingkan dengan bis malam di hari-hari biasa. Tahu sendiri kan kalo bis malam itu tidak ada yang jalan. Semua pada lari. Hehehe.. alias bis malam itu kalau di jalan raya cepat sekali jalannya. Hari Minggunya makan sahur di daerah pertigaan Nagrek. Karena kondisi jalan padat merayap, jam 4-an kami baru tiba di Nagrek. Hawa dingin terasa sekali menusuk tulang. Makan sahur sambil istirahat sejenak. Kami sengaja lewat jalur Nagrek atau jalur selatan, karena di jalur Utara pastinya akan lebih parah kemacetannya. Bahkan kami sempat mengalami antrian di jalan tol. Tepatnya kepadatan terjadi di arah menuju Subang yang merupakan jalur Pantura. Kami ambil jalan lurus dan keluar di pintu Tol Cileunyi. Putar balik ke kana lewat jalur Nagrek. Selepas makan sahur yang hanya beberapa menit saja, kami melanjutkan perjalanan sambil mencari masjid untuk sholat subuh. Selesai Sholat Subuh, melanjutkan kembali perjalanan. Kondisi jalan masih padat merayap sampai ke Ciamis. Kami lewat jalur Selatan dan masuk Pantura melalui Slawi dan keluar di Tegal. Alhamdulillah jalur Pantura dari Tegal ke Jepara tidak ada kemacetan yang berarti. Lancar-lancar saja.

Setiba di Jepara hari senin sekitar jam 3 dini hari atau pas waktu makan sahur. Tak disangka kami sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh keluarga yang di Jepara. Setibanya di rumah, kami disuguhkan masakan Sea Food. Yaitu Rajungan kuah kuning. Asal tahu saja, rajungan merupakan salah satu makanan favorit ketika kecil. Namun, keberadaannya kini sudah jarang sekali. Jarang ada tukang ikan di pasar yang menjajakan rajungan. Kami makan dengan lahapnya. Alhamdulillah. Bagi saya, makan dengan lauk rajungan memiliki cerita sendiri. Yaitu ketika kecil dan belum sekolah, setiap pagi selalu lewat tukang ikan yang berjualan keliling dengan sepedanya. Kami biasa memanggilnya Bang Samin. Pada suatu hari, seperti biasa Bang Samin berhenti di depan rumah. Saya yang pertama kali melihat rajungan, belum kenal apa namanya. Saya hanya menyebutnya dengan sebutan binatang. Kemudian saya memanggil emak (Ibu) saya. “Mak.. beliin binatang dong mak... “. Emak saya bingung, binatang apa yang saya maksud. Ketika saya tunjukkan, barulah beliau tahu binatang apa yang membuat saya sedikit memaksa untuk dibelikan. “Ini namanya rajungan, bukan binatang” begitu penjelasan emak saya. Besok-besoknya, setiap Bang Samin datang dengan membawa rajungan, pastinya saya minta emak untuk membelikan. Emak juga sudah memesan ke Bang Samin, kalo bawa rajungan, tolong disisakan buat saya. Jadinya, setiap kali Bang Samin bawa rajungan, dia pasti memanggil saya “Edy, ada binatang nih Ed.. Mao kaga ?” Jawabannya pasti mau.