Senin, 28 Mei 2012

(*) Nonton Lenong : Kembalinya 3 Perampok Bengis (*)


Adegan pertama dalam suatu pementasan Lenong Betawi (Lenong Preman) yang selama ini saya saksikan selalu sama. Yaitu, pertama-tama keluarlah sosok pendekar berpakaian hitam, berwajah sangar, berambut gondrong dengan lenggak-lenggok layaknya seorang jagoan hebat. Dia keluar dari balik layar yang bisa dikerek dan diganti gambarnya sesuai dengan kondisi adegan yang ditampilkan. Dia menghentakkan kaki ke lantai panggung yang terbuat dari papan, sehingga berbunyi nyaring sekali dan cukup mengagetkan penonton. Tetapi, itulah menariknya. Terkesan sangar dan hebat. Di pinggangnya terselip sebilah golok. Di jari jemarinya terpasang beberapa cincin batu akik yang agak besar. Sehingga kesan jagonya semakin terlihat. Dari atas panggung di depan layar bergambar, dia berdiri. Diambilnya mic yang tergantung di atap panggung dan didekatkan ke mulutnya. Kemudian dengan suara khas jagoan yang dibuat seseram dan seserak mungkin, dia melakukan salam khas dan perkenalan ke para penonton.


UHHUUUYYYYY…
Nih Barong Gua Punya Nama
Rawa Becek Tempat Tinggalnya
Begal, Rampok, Perkosa, Judi Kerjaannya
Sebelon Kita Ketemu Kawannya,
Kita Liat Dulu Permaenannya...

Kemudian musik pun mengalun. Perpaduan dari berbagai macam alat musik tradisional dan modern  seperti, gambang, kromong, tehyan, gendang, gong, suling, gitar dan lain sebagainya. Irama musik biasanya memainkan sebuah lagu tradisional Betawi yang biasa disebut lagu gambang kromong. Sambil musik mengalun, dari atas panggung di depan layar, sang jago melakukan gerakan pencak Silat. Gerakannya sesuai dengan irama musik. Serasi sekali. Sehingga enak dilihat dan juga enak didengarnya. Dalam adegan tersebut, sang pendekar hanya memainkan jurus sekedarnya saja. Sebagai pembuka. Maksud dari kalimat yang diucapkannya sebagai perkenalan, dia ingin supaya para penonton tahu siapa dia. Berperan sebagai apa dia pada pertunjukan itu. Dia berperan sebagai penjahat. Kaki tangannya si Tuan Tanah yang biasanya memeras rakyat kecil dengan Pajak Tanah yang sangat besar nilainya. Dia tidak sendiri. Biasanya dalam pertunjukan Lenong Betawi, ada tiga atau empat pemain yang berperan sebagai penjahat. Dengan dua atau tiga anak buah yang dipimpin langsung oleh seorang Mandor. Mulai dari yang pertama keluar biasanya berilmu paling rendah sampai terakhir sang Mandor yang paling ditakuti oleh anak buahnya. Sang Mandor ini berdandan paling seram dan lebih terlihat gagah ketimbang anak buahnya. Biasanya, setiap bertemu lawan, diawali oleh penjahat yang ilmunya paling rendah. Jika kalah, digantikan sama yang nomor dua dan seterusnya. Sampai akhirnya jika anak buahnya kalah berkelahi melawan musuh, barulah sang Mandor yang maju menghadapi musuh. Begitulah alurnya. Jadi, siapa yang paling jago, siapa yang pemimpin, pasti majunya belakangan. Pekerjaan mereka adalah merampok dan menjadi kaki tangan si Tuan Tanah dengan menarik pajak kepada masyarakat. Bahkan dalam suatu adegan, mereka tidak segan-segan untuk membunuh orang-orang yang dianggap menghalangi kegiatan mereka.

Namun, ada yang menarik dari sosok sang Mandor. Selain berpenampilan sangar dan seram, sang Mandor juga bisa melucu. Misalnya dengan pemakaian kata-kata yang hampir sama bunyinya namun memiliki makna yang berbeda. Selain itu, sang Mandor juga akan bergoyang jika di tengah-tengah dialog, musik dimainkan. Tujuannya hanya sekedar melucu. Jadi, tidak melulu seram dan bengis saja yang ditampilkan. Karena itulah karakter dari kesenian Lenong, yang merupakan lakonan yang bertujuan untuk menghibur masyarakat. Bahkan dalam suatu dialog dengan anak buahnya membahas tentang rencana perampokan dan mendatangi kediaman si Tuan Tanah, musik mengalun dan sang Mandor pun ikut bergoyang menikmati irama musik. Ketika musik selesai mengalun, sang Mandor berdialog dengan salah satu pemain musik, sebut saja namanya IJAN.

Mandor           : Jan.. busehh.. hebat juga lu Jan..
Ijan                  : Hebat ya..
Mandor           : Iya.. Lu kemari naek apa Jan ?
Ijan                  : Naek Angkot...
Mandor           : Naek angkot ? Besok lu ikut gua ya, jangan naek angkot.
Ijan                  : Ohh.. Naek motor ?
Mandor           : Jangan naek motor, ntar nabrak.
Ijan                  : Kalo gitu naek mubil ?
Mandor           : Mubil lagi, bedempel (berhimpit-himpitan).
Ijan                  : Abis, naek apa dong bang Mandor ?
Mandor           : Naek pengki gua seret..
Ijan                  : Buseh..
Mandor           : Kalo naek pengki kaga ada nabraknya.

Adegan berganti ke setting yang lain dan layar diganti dengan layar yang bergambar sesuai dengan adegan yang akan ditampilkan, sambil diirigi alunan lagu gambang kromong. Layar bergambar ini berfungsi sebagai gambar latar yang disesuaikan dengan adegan yang ditampilkan saat itu. Misalkan ketika adegan yang tampil adalah orang kampung yang miskin, maka latar belakangnya adalah persawahan atau gubuk reyot dan pepohonan. Sehingga suasananya benar-benar seperti di kampung. Para pemainnya pun berdandan dan berpenampilan serta bergaya layaknya orang kampung yang miskin dan melarat. Atau ketika saatnya adegan yang menceritakan kehidupan orang kaya. Latar yang ditampilkan adalah gambar sebuah bangunan rumah gedong. Dan pemain yang tampil dalam adegan tersebut adalah biasanya diawali seorang pembantu. Kemudian, barulah sang majikan yang keluar. Dengan berpakaian parlente, berdasi dan berjas. Dengan gaya bahasa yang formal. Sang majikan ini biasanya punya seorang pengawal pribadi atau masyarakat Betawi menyebutnya Centeng. Dengan berpakaian layaknya pendekar, namun masih ada kesan rapi dan berwibawa ketimbang para perampok-perampok yang disebutkan di atas. Centeng ini juga memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Makanya dia dipakai jasanya sebagai pengawal pribadi dari orang kaya. Orang kaya disini merupakan orang kaya sekampung. Bukan Tuan Tanah, namun hanya rakyat biasa. Hanya saja memiliki harta benda yang lebih daripada para tetangganya.
(Saidi Ahmad : Betawi, 28 Mei 2012)

Selasa, 22 Mei 2012

Roti Buaya Sebagai Lambang Kesetiaan


Roti Buaya Kembang Kelapa
Di Betawi buat arak-arakan
Biar kata ilmu gua belom seberapa
Tapi kalo udah bekelai, ucus lu gua keja berantakan..

Pantun di atas sering saya dengar dalam banyak kesempatan menyaksikan pertunjukan Palang Pintu. Dalam pantun di atas menunjukkan kerendahan hati sang penutur pantun. Dia mengakui kalau ilmunya belum seberapa alias masih sedikit. Tapi dia yakin kalo sudah berkelahi, dia mampu membuat usus lawannya berantakan. Ganas dan sadis sekali. Namun, itu semua hanya sandiwara belaka. Karena pantun-pantun dalam acara Palang Pintu memang kebanyakan seperti itu. Pantun jagoan. Yang bertujuan untuk menjatuhkan mental lawannya. Karena dengan berkata seperti itu, dia akan dianggap sebagai pendekar yang hebat. Dalam acara Palang Pintu, pihak Pengantin Lelaki membawa pendekar yang dipersiapkan untuk membuka Palang Pintu yang merupakan pendekar juga yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Pengantin Perempuan. Dan sudah bisa dipastikan kalau hasilnya adalah kemenangan bagi pendekar dari pihak lelaki. Karena kalau pendekar dari pihak perempuan yang menang, maka pernikahannya tidak jadi terlaksana, karena pihak laki-laki harus bisa masuk dan melewati rintangan dari Palang Pintu tersebut.

Sebelum rombongan besan lelaki bergerak menuju lokasi pernikahan, pihak pengantin laki-laki melakukan beberapa persiapan. Mulai dari mengumpulkan rombongan besan. Hingga mengumpulkan bingkisan-bingkisan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, untuk dibawakan dan diserahkan ke pihak perempuan. Di antara bingkisan itu ada sepasang sosok binatang buas yang biasanya ditakuti oleh manusia karena kebuasannya. Binatang tersebut adalah sepasang Buaya seukuran hampir 1 meter dengan seekor anak buaya disampingnya. Namun, kali ini binatang terebut tidak tampak kebuasannya, karena dia diikat dengan pita berwarna dan dibungkus dengan plastik bening dan dihias sedemikian rupa sehingga tampak cantik dan menarik. Kesan buas yang biasanya jadi image pada binatang tersebut seakan-akan sirna dan tergantikan oleh kesan menarik. 

Buaya tersebut bukanlah buaya sungguhan, tetapi roti buaya. Ya, roti yang dibentuk menyerupai buaya. Sepasang roti buaya dengan masing-masing didampingi oleh seekor anaknya. Roti buaya sengaja dianggap penting keberadaannya oleh masyarakat Betawi dalam acara tersebut. Acara seserahan yang dilakukan pihak lelaki kepada pihak perempuan. Bagi masyarakat Betawi, acara seserahan tanpa menyertakan Roti Buaya dianggap kurang afdhol. Sehingga, jika ada suatu acara seserahan dan rombongan besan membawa Roti Buaya, orang-orang pasti tahu kalau rombongan tersebut adalah masyarakat Betawi. Karena Roti Buaya sangat identik dengan pengantin Betawi.

Bagi kebanyakan masyarakat Betawi sendiri, Roti Buaya memiliki makna kesetiaan. Menurut informasi yang saya terima dari orang tua dulu, buaya jantan hanya kawin dengan 1 betina saja. Berbeda dengan burung merpati yang di setiap pernikahan orang-orang bule, sering dijadikan binatang ”pelengkap” dalam perayaan pernikahan. Berbeda lagi dengan buaya darat. Buaya darat merupakan julukan yang disematkan oleh masyarakat kepada lelaki yang memiliki kegemaran gonta-ganti pasangan. Roti buaya sendiri mengambil makna dari buaya asli yang selalu setia dengan pasangannya. Kalau tidak percaya, coba deh ditanyakan langsung ke buayanya. Hehehehe.. Jadi, bedakan ya antara Buaya Darat dengan Roti Buaya.

Saya teringat dengan acara pernikahan saya dulu. Saya yang merupakan putra Betawi dan tinggal di Rawa Buaya – Cengkareng, menikah dengan seorang gadis asal Jepara, Jawa Tengah. Pada saat pesta pernikahan kami, saudara dari istri saya datang dari Jepara ke Jakarta untuk mengikuti resespsi dan akad nikah kami. Ketika akad nikah, saya dan rombongan besan membawa berbagai macam bingkisan seperti halnya orang Betawi pada umumnya yang biasa disebut dengan Seserahan. Tidak ketinggalan pula sepasang roti buaya dengan seekor anak buayanya yang sudah dihias  sedemikian rupa supaya terlihat cantik dan menarik. Setelah pesta pernikahan selesai, roti buaya dibagikan ke tetangga. Tersisa tinggal 1 ekor roti buaya saja yang masih terbungkus rapi. Walhasil, roti buaya tsb dibawa oleh saudara-saudara pulang ke Jepara. Untuk dibagi-bagikan juga ke tetangga. Karena roti buaya sudah identik dengan masyarakat Jakarta. Roti Buaya tersebut dibawa tanpa dipotong-potong dulu, tetapi hanya dibungkus kertas koran saja, supaya tidak terlalu kelihatan kalau itu adalah roti buaya.