Bagi masyarakat Jakarta, setiap perayaan
Hari Raya Idul Fitri atau biasa disebut dengan Lebaran sangat identik dengan
yang namanya Mudik atau pulang kampung. Kegiatan mudik ini dilakukan oleh
orang-orang pendatang yang tinggal dan bekerja di Jakarta. Mereka berbondong-bondong pergi
meninggalkan kota Jakarta untuk menuju kampung halaman
masing-masing. Ada
yang pulang kampung ke daerah yang masih di Pulau Jawa, ada yang ke luar Pulau
Jawa, bahkan ada yang sampai ke luar negeri. Ada yang menumpang Pesawat
Terbang, Kapal Laut, Kereta Api, Bus, Sepeda Motor, bahkan ada yang mengendarai
Bajaj. Bermacam-macam arah tujuannya dan angkutan yang digunakan. Namun dengan
1 tujuan yang sama, yaitu merayakan Hari Raya Lebaran di kampung halaman bersama
keluarga dan sanak family. Bagi
mereka kurang afdhol rasanya berlebaran tidak bersama keluarga dan orang tua.
Tidak terkecuali dengan para tetangga di sekitar
rumah saya. Beberapa hari menjelang Lebaran, mereka sudah meninggalkan rumah
mereka di Jakarta satu-persatu. Yang ada di Jakarta ketika Lebaran tiba adalah
suasana menjadi lengang dan sepi. Jakarta yang setiap harinya selalu sibuk,
macet di setiap jalan-jalannya. Ketika Lebaran tiba, berubah seolah-olah
menjadi kota mati. Bahkan saya yang biasanya menempuh perjalanan berangkat dan
pulang kerja paling cepat membutuhkan waktu 1 jam, pada saat-saat menjelang dan
setelah Lebaran beberapa hari, hanya membutuhkan waktu paling lama setengah jam
saja. Luar biasa. Jalan-jalan raya lengang dan sepi. Seolah-olah hanya saya
saja yang masih ada di Jakarta. Maklumlah, saya kan kelahiran Jakarta dan asli
anak Jakarta atau anak Betawi asli. Lahir dan besar di Jakarta. Dengan Bapak
dan Ibu yang juga lahir di Jakarta. Bahkan semua kakek dan nenek saya juga
lahir di Jakarta. Sehingga saya pun bisa dibilang putra Betawi asli.
Saya mencoba mengenang beberapa peristiwa dulu
ketika saya masih kecil. Saat itu ketika masih tinggal di bilangan Kedoya
Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Karena kami sekeluarga asli dari Kedoya. Dekat
dengan Pondok Pesantren Asshidiqiyah. Dulu, ketika lebaran menjelang, banyak
tetangga-tetangga yang berangkat untuk mudik lebaran. Tak terkecuali dengan
para teman-teman masa kecil dulu. Mereka ikut orang tua mereka berangkat menuju
kampung halaman mereka. Ada yang orang Jawa, orang Sunda, bahkan ada yang orang
Ambon. Dalam benak saya ketika itu, mereka sungguh beruntung punya kampung
halaman. Setidaknya setiap tahun, yaitu setiap Lebaran tiba mereka bisa
jalan-jalan ke kampung halaman. Melihat pemandangan selama perjalanan, tinggal
di desa dengan suasana yang masih asri. Udaranya sejuk. Bisa melihat
gunung-gunung dan lautan. Oh.. betapa indahnya. Kala itu saya belum punya
pemikiran bagaimana capek dan lelahnya orang-orang yang Mudik. Bahkan sampai
mempertaruhkan nyawa demi mencium tangan atau memeluk orang tua mereka di Hari
Raya seraya memohon maaf kepada orang
tua yang mereka anggap keramat. Mereka berkeyakinan, kesuksesan yang mereka
miliki saat ini tidak lepas dari do’a orang tua mereka nun jauh disana. Saat
itu saya hanya membayangkan kalau mudik itu adalah jalan-jalan, rekreasi atau
semacamnya yang menyenangkan.
Sehingga akhirnya saya diberi kesempatan untuk
merasakan sendiri rasanya mudik yang sesungguhnya. Ketika kakak saya
(perempuan) menikah dengan seorang lelaki asal Garut, Jawa Barat. Hampir setiap
tahunnya saya diajak ”pulang kampung” olehnya. Pertama kali ke Garut dengan
menumpang bis. Sehingga nuansa rekreasi yang saya dapatkan kurang memuaskan. Karena
selain tidak bisa menikmati pemandangan di lokasi-lokasi wisata selama
perjalanan, juga di sana (Garut) saya tidak bisa leluasa jalan-jalan menyusuri
kota Garut yang sejuk. Namun, pada kunjungan berikutnya, saya diajak berkendara
sepeda motor berdua. Dengan bersepeda motor ini, saya mendapatkan nuansa cukup
memuaskan --juga melelahkan--. Misalnya kita beristirahat di Puncak Pass.
Memandangi perkebunan teh dan gunung-gunung sambil menghirup udara pegunungan
yang segar. Dan ketika di Garut, saya diajak berkeliling dengan sepeda motor
menyusuri kota Garut yang indah dan sejuk. Banyak gunung di sana. Sawah-sawah.
Enak sekali dipandangnya. Ahh... nikmatnya. Walaupun dalam perjalanan sempat
mengalami macet, setidaknya efek kemacetan yang saya rasakan jadi berkurang.
Hampir setiap tahun kami berangkat dengan hanya berkendara sepeda motor saja.
Terakhir kali ikutan mudik ketika Lebaran tahun
2011 yang lalu. Ketika itu, kami mudik ke Jepara, Jawa Tengah. Lebih jauh dari Garut. Kali ini tidak
dengan kakak ipar dan tidak mengendarai sepeda motor. Tapi dengan istri dan
mertua sekeluarga. Dengan mengendarai mobil Isuzu Panther dan menyewa supir.
Istri saya kelahiran Jepara, Jawa Tengah. Hanya saja besarnya di Jakarta.
Jepara yang lebih dikenal sebagai kota ukir. Kota kelahiran pahlawan nasional
R.A. Kartini. Pahlawan bagi kaum perempuan Indonesia. Yang katanya memperjuangkan emansipasi perempuan. Yang
makna emansipasi itu sendiri sudah banyak dipelintirkan oleh sekelompok orang
demi kepentingan mereka sendiri. Pahlawan yang terkenal dengan kalimat ”Habis Gelap
Terbitlah Terang”. Yang setiap tahunnya dirayakan senasional sebagai Hari
Kartini setiap tanggal 21 April.
Kami berangkat Sabtu malam tanggal 27 Agustus
2011, sekitar jam 10 an dari Jakarta. Dan baru tiba di Jepara hari Senin dini
hari jam 3 an pas makan sahur. Jadi, menempuh perjalanan selama sekitar 29
jam-an. Dari waktu normal Jakarta – Jepara yang hanya 12 jam saja dengan
menumpang bis malam. Ya
iyalah, membandingkan dengan bis malam di hari-hari biasa. Tahu sendiri kan kalo bis malam itu tidak ada
yang jalan. Semua pada lari. Hehehe.. alias bis malam itu kalau di jalan raya
cepat sekali jalannya. Hari Minggunya makan sahur di daerah pertigaan Nagrek.
Karena kondisi jalan padat merayap, jam 4-an kami baru tiba di Nagrek. Hawa
dingin terasa sekali menusuk tulang. Makan sahur sambil istirahat sejenak. Kami
sengaja lewat jalur Nagrek atau jalur selatan, karena di jalur Utara pastinya
akan lebih parah kemacetannya. Bahkan kami sempat mengalami antrian di jalan
tol. Tepatnya kepadatan terjadi di arah menuju Subang yang merupakan jalur
Pantura. Kami ambil jalan lurus dan keluar di pintu Tol Cileunyi. Putar balik
ke kana lewat jalur Nagrek. Selepas makan sahur yang hanya beberapa menit saja,
kami melanjutkan perjalanan sambil mencari masjid untuk sholat subuh. Selesai
Sholat Subuh, melanjutkan kembali perjalanan. Kondisi jalan masih padat merayap
sampai ke Ciamis. Kami lewat jalur Selatan dan masuk Pantura melalui Slawi dan
keluar di Tegal. Alhamdulillah jalur Pantura dari Tegal ke Jepara tidak ada
kemacetan yang berarti. Lancar-lancar saja.
Setiba di Jepara hari senin sekitar jam 3 dini
hari atau pas waktu makan sahur. Tak disangka kami sudah ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh keluarga yang di Jepara. Setibanya di rumah, kami disuguhkan
masakan Sea Food. Yaitu Rajungan kuah kuning. Asal tahu saja, rajungan
merupakan salah satu makanan favorit ketika kecil. Namun, keberadaannya kini
sudah jarang sekali. Jarang ada tukang ikan di pasar yang menjajakan rajungan.
Kami makan dengan lahapnya. Alhamdulillah. Bagi saya, makan dengan lauk
rajungan memiliki cerita sendiri. Yaitu ketika kecil dan belum sekolah, setiap
pagi selalu lewat tukang ikan yang berjualan keliling dengan sepedanya. Kami
biasa memanggilnya Bang Samin. Pada suatu hari, seperti biasa Bang Samin berhenti di depan rumah. Saya
yang pertama kali melihat rajungan, belum kenal apa namanya. Saya hanya
menyebutnya dengan sebutan binatang. Kemudian saya memanggil emak (Ibu) saya.
“Mak.. beliin binatang dong mak... “. Emak saya bingung, binatang apa yang saya
maksud. Ketika saya tunjukkan, barulah beliau tahu binatang apa yang membuat
saya sedikit memaksa untuk dibelikan. “Ini namanya rajungan, bukan binatang”
begitu penjelasan emak saya. Besok-besoknya, setiap Bang Samin datang dengan
membawa rajungan, pastinya saya minta emak untuk membelikan. Emak juga sudah
memesan ke Bang Samin, kalo bawa rajungan, tolong disisakan buat saya. Jadinya,
setiap kali Bang Samin bawa rajungan, dia pasti memanggil saya “Edy, ada
binatang nih Ed.. Mao kaga ?” Jawabannya pasti mau.